24 February 2022

Kesehatan Mental, Kawula Muda dan Kapitalisme (Kevin's Version)

Ditulis oleh Kevin Aprilio dan Yuviniar Ekawati

Kondisi dunia semakin hari semakin menyedihkan. Dengan kemunculan Pandemi COVID-19, disahkannya Omnibus Law, penggusuran warga Wadas dan Anyer Dalam, dan pemanasan global, rasanya tidak mengherankan banyak orang dengan kondisi mental yang memburuk. Terlepas perdebatan apakah peningkatan diagnosis penyakit mental ini merupakan bentuk overdiagnosis atau hasil dari underdiagnosis di masa sebelumnya, Mark Fisher dalam buku Capitalist Realism mengaitkan fenomena ini dengan perkembangan kapitalisme dewasa ini.

Meskipun pada hakikatnya dikenal sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme berhasil merasuk pada berbagai sendi kehidupan; termasuk kesehatan mental. Dalam hal ini, sebagaimana dinyatakan Fisher, keharusan bekerja di bawah sistem kapitalisme menyebabkan privatisasi stress, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat depresi di masyarakat.

Stress ini diperburuk dengan alienasi; terputusnya atau hilangnya koneksi seseorang akan hidupnya sendiri sehingga membuatnya merasa terasing akan kehidupan yang dimilikinya. Termasuk pula pada pekerjaan seseorang; meskipun ia menghabiskan 8 jam lebih dari kehidupannya untuk bekerja, acapkali pekerjaan hanya diperlakukan sebagai sebuah tindakan bertahan hidup tanpa pemaknaan lebih dalam prosesnya.

Pekerjaan yang tidak memberikan makna dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab kesehatan mental yang buruk. Dalam kasus lain, pekerjaan bahkan mengatasi kedukaan yang dialami para pekerja dalam kehidupan sehari-hari; harus tetap bekerja meskipun orang-orang di dekatnya meninggal karena COVID-19, meskipun anak sedang dalam masa tumbuh kembangnya, dan sebagainya.


Keluarga yang Ideal

Saat tulisan ini dibuat, penulis santer mendengar narasi-narasi yang mengagungkan nilai-nilai kekeluargaan konservatif. Konsep ini dapat dilihat dari bagaimana keluarga dilihat sebagai tempat bernaung absolut bagi para anggotanya, terlepas bagaimana kondisi sosial antar-anggota keluarga tersebut. Sayangnya, mengamini nilai ini seringkali mengerdilkan apa yang dialami, dirasakan, dan dilakukan orang-orang muda.

Sebagai contoh pengalaman anekdotal, penulis beberapa kali mendengar beberapa dosen yang menyatakan “…enak, lah, kuliah online, kan bisa sambil di rumah,” terkait pembelajaran daring yang dilakukan selama pandemi ini. Sayangnya, pernyataan tersebut terasa asing bagi penulis yang merasa malah mendapat beban ganda selama berkuliah dari rumah. Salah satu kawan penulis bahkan diminta untuk berbelanja pada saat sidang proposal skripsinya.

Hal tersebut menggambarkan bagaimana rumah bukan tempat yang ideal untuk sebagian orang. Dalam hal ini, ketimpangan dalam relasi kuasa seringkali menjadikan orang muda sebagai pihak yang dirugikan; sehingga pembangkangan tidak dapat semerta-merta dilihat sebagai bentuk kenakalan, tetapi bentuk justifikasi eksistensi. Oleh karenanya, penggambaran terkait hidup yang terus membaik seiring dengan perkembangan zaman—seringkali dijadikan pembenaran oleh orang tua dalam menafsirkan kehidupan orang muda—tidak semerta-merta menggambarkan kondisi kehidupan yang lebih baik.

 

Buah dari Krisis

Penulis lahir di tahun 1998 dan 2000; mengikuti Krisis Finansial Asia tahun 1997 dan krisis-krisis setelahnya. Hal tersebut, selain tentunya perkembangan kapitalisme secara umum, tentunya menyebabkan perubahan kondisi ekonomi yang masih dapat dirasakan hingga saat ini. Oleh karenanya, pemikiran terkait perilaku yang ideal tidak dapat semerta-merta digunakan dewasa ini.

Praktik tersebut nampak, salah satunya, dalam bentuk-bentuk hiburan yang tersedia saat ini. Hasil produksi entertainment terus dicekoki sebagai pengalihan dari masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, konsumsi terpaksa menjadi satu-satunya hal yang dapat dilakukan dalam rangka mempertahankan kewarasan di bawah tekanan kapitalisme. Namun, hal-hal tersebut yang acapkali dilabeli sebagai healing, self-love, dan self-reward semerta-merta dianggap sebagai jargon untuk membenarkan perilaku konsumtif yang boros oleh orang muda; seakan-akan hal tersebut merupakan pilihan dan bukan keterpaksaan.

Dalam artikel berjudul Benarkah Anak Muda yang Berhenti Beli Kopi dan Travelling Pasti Bisa Beli Rumah? Emily Goddard memaparkan bahwa menabung—bahkan secara agresif—tidak semerta-merta memungkinkan anak muda saat ini untuk membeli rumah; suatu hal yang sangat memungkinkan saat harga properti masih lebih murah. Sistem kerja gig yang semakin marak turut berkontribusi terhadap financial insecurity anak muda, di mana sistem kerja rentan tanpa gaji yang pasti ataupun layak, kontrak yang jelas, serta jaminan sosial lainnya—seperti jaminan kesehatan ataupun hari tua.

Perlu disadari bahwa pilihan hidup di bawah kapitalisme sebetulnya sangatlah sempit. Hal tersebut nampak dari komentar yang dilayangkan masyarakat saat seseorang memiliki perjalanan hidup yang tidak linear, seperti bersekolah-bekerja-berkeluarga; seakan orang-orang tersebut gagal dalam hidupnya. Sayangnya, masyarakat tidak memiliki imajinasi dunia tanpa kerja dengan sistem upah; masyarakat tidak memiliki imajinasi perjalanan hidup yang tidak linear.

Singkat kata, seperti yang Bane katakan pada Batman, “I was born in economic crises, born in it, molded by it!”.

 

Menilik Kesehatan Mental

Di zaman kapitalisme lanjut ini, orang-orang muda tidak lebih adalah sekrup-sekrup potensial untuk dieksploitasi. Kelelahan, terutama secara mental, ini secara kolektif dirasakan oleh orang-orang muda, terlebih dengan kondisi dunia di masa krisis.

Oleh karenanya, pengetahuan dan pembahasan terkait kesehatan mental mulai meningkat dewasa ini; selaras dengan meningkatnya kebutuhan akan kesehatan yang lebih baik. Terlepas dari permasalahan struktural dan sosio-ekonomi yang menyebabkannya, serta terbatasnya hal yang dapat dilakukan untuk meresponnya, pelayanan kesehatan mental di rumah sakit oleh psikolog dan/atau psikiater menjadi satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kewarasan yang tersisa sampai runtuhnya kapitalisme.

Pada pemahaman yang dangkal, tentunya hal tersebut dapat menimbulkan bahaya-bahaya tertentu seperti self-diagnosis ataupun bahkan menjadi pembenaran atas tindakan-tindakan seseorang yang merugikan orang lain di sekitarnya. Namun, perlu diingat bahwa sebelum seseorang mencari atau mendapatkan pelayanan kesehatan, ia harus menyadari kondisi yang dialaminya sebelum pada akhirnya mencari bantuan medis. Sehingga, identifikasi diri perlu dilakukan sebagai rujukan awal untuk mendapat pelayanan kesehatan mental.

Lebih lanjut lagi, akses terhadap pelayanan kesehatan mental yang amat terbatas, baik dari jumlah tenaga kesehatan yang tersedia ataupun biaya yang perlu dikeluarkan, menjadi penghalang utama dalam seseorang mendapat diagnosis formal terkait kondisinya.

Sayangnya, sebagai penyintas penyakit mental, sejauh ini penulis mengamati bahwa kekhawatiran tersebut seringkali digunakan untuk menginvalidasi pengalaman ataupun kondisi yang dialami orang-orang dengan penyakit mental.

Toh, seperti halnya disabilitas pada umumnya, bukankah toleransi dari masyarakat merupakan hal utama yang dibutuhkan dalam menyikapinya?


Epilog*

Tulisan ini sudah sebelumnya dipublikasikan di media Omong-Omong. Saya dan Yuviniar sepakat kalau kami suka dengan judul baru yang dibuat oleh redaktur Omong-Omong. Menurut kami, judul baru tersebut berhasil memberikan rasa humanis pada tulisan kami.

Namun begitu, banyak aspek dari tulisan kami yang diubah; beberapa kalimat diubah dan beberapa bagian hilang. Banyak gagasan yang berubah pesannya atau bahkan hilang dari tulisan kami. Saya pun menjadi merasa sedang membaca tulisan orang lain.

Meskipun disampaikan beberapa kali oleh Yuviniar, yang lebih berpengalaman berurusan dengan media publik, bahwa hal ini lumrah terjadi di kantor media, terutama kantor media daring, saya sangat menyayangkan perubahan sepihak ini. Jika suatu saat tulisan ini, versi yang dipublikasikan di Omong-Omong, dianggap bermasalah, saya hanya dapat bertanggung jawab menurut versi ini yang saya dan Yuviniar tulis sepenuhnya.

*Epilog ini ditulis oleh Kevin Aprilio dengan persetujuan Yuviniar Ekawati.
Share:

25 May 2021

Nun Jauh di Sana

Sebuah roman picisan. Tak perlu dianggap serius.

Sering kutunggu kabar darimu. Tiap kali ponselku berdering dan namamu muncul di antara orang-orang lain yang berserakan di layarku, ada sebuah rasa penasaran akan apa yang akan kau kabari padaku kali ini. Hal yang kau anggap sepele; masakan sahurmu, perjalananmu dari tempatmu beraktivitas menuju tempatmu berteduh, selalu kunantikan. Kisahmu berkeluh kesah terhadap hidup dan kebangsatan yang hadir bersamanya kudengarkan. Aku harap jawabanku dapat membantumu, sungguh, meskipun aku tau perbedaan pengalaman hidup kita dan waktu yang kita sudah habiskan di dunia ini mungkin membuat jawabanku menjadi celoteh semata. Tak apa, paling tidak kau tahu bahwa aku mendengarmu.

Dari segala pengalaman yang sudah kita bagikan selama ini, rasanya dekat sekali kita ini. Sayangnya dunia tidak dapat diperkecil, paling tidak secara realistis. Dunia lain yang dibentuk oleh denyut listrik dari untaian kawat tembaga menjadi penghubung kita selama ini; dari awal bertemu sampai saat ini. Tak apa, kita sudah berbicara soal ini dan selalu realistis menghadapinya. Suatu hal yang sangat kukagumi.

Kamulah yang mengenalkan aku pada dunia ini. Dari awal bertemu dan kenal denganmu, kubaca tulisanmu dan selalu kukagumi bagaimana kau menguntai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan paragraf menjadi tulisan. Dari situ aku tahu bahwa kau adalah orang yang sangat beruntung. Lihat di mana kau sekarang. Rasanya banyak orang, dan aku di antaranya, mengharapkan bisa berada di posisimu sekarang. Kamu orang beruntung yang diberkahi oleh pemikiran dan kekuatan. Aku iri akan itu.

Dulu, saat berjalan-jalan di Kota Bandung melihat sebuah pameran buku, kubeli sebuah buku dan kuceritakan padamu pandangan-pandangan yang kumiliki terhadapnya. Kau suruh aku untuk buat sebuah tulisan dengan janji akan dibuat menjadi bagian dari antologi pada blogmu. Sampai sekarang, ia tidak pernah muncul di sana hingga kuputuskan untuk membagikannya sendiri dan membuat blog sendiri yang kugunakan untuk menulis saat ini. Tak apa, aku tak kembali menagih janji tersebut. Aku bersyukur bahwa dirimulah yang sudah membuatku mulai menulis dan merangkai kata seperti dirimu. Mungkin tak seindah yang kau miliki; hidupku lebih sederhana dan kemampuanku pun lebih terbatas. Paling tidak, kalau mengikuti kata salah satu idolamu, aku mulai mengabadikan pecahan-pecahan hidupku.

Pertemuan garis hidup kita rasanya tak terduga, apalagi sampai saat ini. Banyak hal dari diri kita masing-masing yang berubah. Aku sibuk dengan hidupku dan kau pun begitu. Terlihat dari bagaimana kau tak pernah lagi mengunggah tulisan-tulisanmu yang dulu kutunggu setiap minggu, kadang sambil membaca tulisan-tulisan lamamu yang ternyata sudah ada jauh sebelum aku mengenal buku-buku lain selain buku cetak sekolahan. Dari dulu, aku senang melihat bagaimana kau yang dulu berubah menjadi kau yang sekarang melalui tulisan-tulisanmu, yang kau konfirmasi saat kutunjukkan hal tersebut padamu. Lucu melihatmu malu sendiri atasnya.

Namun begitu, waktu berlalu dan aku pun menjadi lupa atas hal tersebut. Aku pun sempat lupa terhadapmu. Tapi, setelah lama tidak bersua, paling tidak kita mulai saling berkabar dan menceritakan kembali hal-hal yang sudah terlewat selama itu. Tak apa, aku memaklumi kekosongan tersebut dan aku harap kau pun. Satu hal yang sama; aku bahagia didengar olehmu, dan aku pun bahagia mendengarmu. Kuharap pengalamanmu serupa dengan apa yang kualami.

Aku harap kau bahagia dengan apa yang sudah kau capai saat ini. Aku pun yakin, pun ia benar ada, takdirmu akan menunjukkanmu pada hal yang lebih baik lagi dari saat ini. Terima kasih atas kehadiranmu selama ini. Aku tak tahu betul bagaimana keadaanmu saat ini, tapi cobalah lebih baik pada dirimu sendiri, sebagaimana aku berusaha dengan hal tersebut pada diriku sendiri. Aku harap bisa kembali membaca untaian katamu, sebagaimana apa yang kulakukan saat ini pada blogku.

Salam hangat, kuharap kau dapat merasakannya.

Epilog

Blog ini sudah lama tidak diperbarui, dengan unggahan terakhir pada tahun 2018; kurang lebih tiga tahun lalu. Dari situ, tentunya banyak yang berubah dari saya; perkuliahan membuat waktu saya tersita sebagian besar padanya. Orang pun datang dan pergi. Tulisan saya berubah menjadi laporan-laporan dan, dalam waktu senggang yang saya miliki, artikel populer di website lain yang gayanya jauh lebih formal dari apa yang biasa diunggah di sini.

Blog ini pun sayangnya jadi terbengkalai.

Selain menyurahkan hati soal di atas, seorang kawan yang tidak akan saya sebutkan secara spesifik karena belum mendapat consent darinya, rasanya saya juga ingin berkabar lebih lanjut dan memperbarui blog ini, sehingga jadilah tulisan ini yang ditulis dan diunggah subuh. Seperti biasa, karena memang saya sepertinya hidup layaknya kalong.

Sebagai keterangan tambahan, karena tulisan di blog ini kebanyakan merupakan curahan hati yang saya buat saat galau, saya akhirnya mendapat jawaban atas hal tersebut. Saya didiagnosis mengidap Bipolar tipe 2 pada tahun 2020, setelah perjalanan panjang menemui berbagai ahli psikologi (konselor, psikolog, sampai psikiater) dari akhir tahun 2018. Paling tidak, saat ini, saya ada dalam kondisi baik-baik saja. Semoga bisa berlanjut seperti itu.

Saya harap stabilitas emosi saya saat ini berujung pada stabilitas saya dalam hal hubungan interpersonal, baik pada orang yang saya ceritakan maupun pada orang-orang lain yang ada dalam hidup saya. Sungguh, saya berharap akan hal tersebut.

Akhir kata, salam saya juga diberikan pada para pembaca dan kawan-kawan lain yang kebetulan berkunjung pada blog ini setelah sekian lama. Entah berapa orang yang masih membacanya, saya mengurungkan diri melihat statistik blog ini dan memang tidak terlalu peduli terhadapnya. Lagipula, blog ini hanya corat-coret belaka, bukan?

Sampai jumpa di unggahan lain, entah kapan itu.

Share:

19 July 2018

Cycles of Fear

This page, at the time of its creation, was meant to be a media for me to store most of my writings, to prevent my random writings as the result of random impulsive needs of self-actualisation that contains mostly my rants; anger, sadness, and all other stuff in it to just end up in some random trashcans. I know that this page practically has zero viewers in general, but hey, the main goal wasn't to gain viewers in the first place, right? The hell with fame.

So to say, this page contains slices of me; a Horcrux if you prefer such terms. Its existence in and of itself is a manifestation of my fear of fading into oblivion, to be forgotten and all. A talk with a friend of mine I rather hold dearly made me elaborate this fear of mine. To him, I explained my strong belief to the idea that one of the qualities making mankind unique is our ability to actively contribute to our world. Not only passively through organic means, like all living beings do in terms of shaping our environment and ecosystem, but also actively through our thoughts and acts.

As an example, we all know Marie Curie for her discovery of radioactivity. Of course, some of her past findings might have been revoked, updated, or added upon, I am not much of a physicist so I don't know for sure. My point is, the act she has done contributes more than just participating in this world's food chain, harshly speaking.

That, however, raises one question: how do we quantify our worth in this society? Does it mean that one has to go through feminism's idea of intersectionalism, or is it one's net worth, as often published by fancy magazines listing people based on how much money they have? Does it have to be made in a novel platform Black Mirror-esque in order to get an actual number? I have no answer to that just yet, especially seen in the big scale of this world.

"But little Earl Grey, ain't that too much for you to think about for now? Ain't those thoughts just gonna drag your mind down, causing havoc and all?"

To which I sadly answer yes; I think I've had my fair share of quarter-life crisis –since I think that I'm way too young for a mid-life crisis, but crisis it is– not to mention a spice of depression here and there. As the kind of person that hates uncertainty, to the point where I often prefer someone just asking me for what I want for gifts instead of giving me some random ones, this thing bothers me a lot. Inability to foresee and make plans for upcoming events and instead resorting to other upon other sorts of backup plan infuriates me. Talk about having to wait two months for SBMPTN, eh?

One thing I've learned, however, after meeting someone that perhaps has shifted –shifted because the word change feels too strong, I'm just as stubborn as ever– is to scale things down a little. I don't have to be remembered by everyone, say that I have failed my obviously grandiose wish. I don't have to be known by everyone; to be studied in detail with books talking about me and my theories whatsoever. I don't want to be known by all people, I want to be memorated; by those who I hold equally dearly during the course of my (past, in the sense of my death in the future,) life.

That insight made me try to work with things I already have, instead of continuously trying to achieve things that might not be achievable at the moment just yet, saving me from futile exercise. That sounds bloated, I agree, as the reality isn't that smooth. Self-conflicting ideas come as often as it was before and arguments with this "let it flow" dear person come is as heated as how it was. Perhaps, we exist in order to compliment each other in life. Perhaps, it was meant to shape each other to become the less extreme of each spectrum. Perhaps, this life is a complex orchestra conducted by a highly intricate being. Perhaps, it is love that unites people from a different polarity of life in a weird fashion. Perhaps, I'm going to stop creating backup theories, at least once.


Low-key dedicated to Eid al-Fitr of January 1999.
Share: