Ditulis oleh Kevin Aprilio dan Yuviniar Ekawati
Kondisi dunia semakin hari semakin menyedihkan. Dengan kemunculan Pandemi COVID-19, disahkannya Omnibus Law, penggusuran warga Wadas dan Anyer Dalam, dan pemanasan global, rasanya tidak mengherankan banyak orang dengan kondisi mental yang memburuk. Terlepas perdebatan apakah peningkatan diagnosis penyakit mental ini merupakan bentuk overdiagnosis atau hasil dari underdiagnosis di masa sebelumnya, Mark Fisher dalam buku Capitalist Realism mengaitkan fenomena ini dengan perkembangan kapitalisme dewasa ini.
Meskipun pada hakikatnya dikenal sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme berhasil merasuk pada berbagai sendi kehidupan; termasuk kesehatan mental. Dalam hal ini, sebagaimana dinyatakan Fisher, keharusan bekerja di bawah sistem kapitalisme menyebabkan privatisasi stress, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat depresi di masyarakat.
Stress ini diperburuk dengan alienasi; terputusnya atau hilangnya koneksi seseorang akan hidupnya sendiri sehingga membuatnya merasa terasing akan kehidupan yang dimilikinya. Termasuk pula pada pekerjaan seseorang; meskipun ia menghabiskan 8 jam lebih dari kehidupannya untuk bekerja, acapkali pekerjaan hanya diperlakukan sebagai sebuah tindakan bertahan hidup tanpa pemaknaan lebih dalam prosesnya.
Pekerjaan yang tidak memberikan makna dapat dikatakan menjadi
salah satu penyebab kesehatan mental yang buruk. Dalam kasus lain, pekerjaan
bahkan mengatasi kedukaan yang dialami para pekerja dalam kehidupan
sehari-hari; harus tetap bekerja meskipun orang-orang di dekatnya meninggal
karena COVID-19, meskipun anak sedang dalam masa tumbuh kembangnya, dan
sebagainya.
Keluarga yang Ideal
Saat tulisan ini dibuat, penulis santer mendengar narasi-narasi yang mengagungkan nilai-nilai kekeluargaan konservatif. Konsep ini dapat dilihat dari bagaimana keluarga dilihat sebagai tempat bernaung absolut bagi para anggotanya, terlepas bagaimana kondisi sosial antar-anggota keluarga tersebut. Sayangnya, mengamini nilai ini seringkali mengerdilkan apa yang dialami, dirasakan, dan dilakukan orang-orang muda.
Sebagai contoh pengalaman anekdotal, penulis beberapa kali mendengar beberapa dosen yang menyatakan “…enak, lah, kuliah online, kan bisa sambil di rumah,” terkait pembelajaran daring yang dilakukan selama pandemi ini. Sayangnya, pernyataan tersebut terasa asing bagi penulis yang merasa malah mendapat beban ganda selama berkuliah dari rumah. Salah satu kawan penulis bahkan diminta untuk berbelanja pada saat sidang proposal skripsinya.
Hal tersebut menggambarkan bagaimana rumah bukan tempat yang
ideal untuk sebagian orang. Dalam hal ini, ketimpangan dalam relasi kuasa seringkali
menjadikan orang muda sebagai pihak yang dirugikan; sehingga pembangkangan
tidak dapat semerta-merta dilihat sebagai bentuk kenakalan, tetapi bentuk
justifikasi eksistensi. Oleh karenanya, penggambaran terkait hidup yang terus
membaik seiring dengan perkembangan zaman—seringkali dijadikan pembenaran oleh orang
tua dalam menafsirkan kehidupan orang muda—tidak semerta-merta menggambarkan
kondisi kehidupan yang lebih baik.
Buah dari Krisis
Penulis lahir di tahun 1998 dan 2000; mengikuti Krisis Finansial Asia tahun 1997 dan krisis-krisis setelahnya. Hal tersebut, selain tentunya perkembangan kapitalisme secara umum, tentunya menyebabkan perubahan kondisi ekonomi yang masih dapat dirasakan hingga saat ini. Oleh karenanya, pemikiran terkait perilaku yang ideal tidak dapat semerta-merta digunakan dewasa ini.
Praktik tersebut nampak, salah satunya, dalam bentuk-bentuk hiburan yang tersedia saat ini. Hasil produksi entertainment terus dicekoki sebagai pengalihan dari masalah yang dihadapi. Pada akhirnya, konsumsi terpaksa menjadi satu-satunya hal yang dapat dilakukan dalam rangka mempertahankan kewarasan di bawah tekanan kapitalisme. Namun, hal-hal tersebut yang acapkali dilabeli sebagai healing, self-love, dan self-reward semerta-merta dianggap sebagai jargon untuk membenarkan perilaku konsumtif yang boros oleh orang muda; seakan-akan hal tersebut merupakan pilihan dan bukan keterpaksaan.
Dalam artikel berjudul Benarkah Anak Muda yang Berhenti Beli Kopi dan Travelling Pasti Bisa Beli Rumah? Emily Goddard memaparkan bahwa menabung—bahkan secara agresif—tidak semerta-merta memungkinkan anak muda saat ini untuk membeli rumah; suatu hal yang sangat memungkinkan saat harga properti masih lebih murah. Sistem kerja gig yang semakin marak turut berkontribusi terhadap financial insecurity anak muda, di mana sistem kerja rentan tanpa gaji yang pasti ataupun layak, kontrak yang jelas, serta jaminan sosial lainnya—seperti jaminan kesehatan ataupun hari tua.
Perlu disadari bahwa pilihan hidup di bawah kapitalisme sebetulnya sangatlah sempit. Hal tersebut nampak dari komentar yang dilayangkan masyarakat saat seseorang memiliki perjalanan hidup yang tidak linear, seperti bersekolah-bekerja-berkeluarga; seakan orang-orang tersebut gagal dalam hidupnya. Sayangnya, masyarakat tidak memiliki imajinasi dunia tanpa kerja dengan sistem upah; masyarakat tidak memiliki imajinasi perjalanan hidup yang tidak linear.
Singkat kata, seperti yang Bane katakan pada Batman, “I
was born in economic crises, born in it, molded by it!”.
Menilik Kesehatan Mental
Di zaman kapitalisme lanjut ini, orang-orang muda tidak lebih adalah sekrup-sekrup potensial untuk dieksploitasi. Kelelahan, terutama secara mental, ini secara kolektif dirasakan oleh orang-orang muda, terlebih dengan kondisi dunia di masa krisis.
Oleh karenanya, pengetahuan dan pembahasan terkait kesehatan mental mulai meningkat dewasa ini; selaras dengan meningkatnya kebutuhan akan kesehatan yang lebih baik. Terlepas dari permasalahan struktural dan sosio-ekonomi yang menyebabkannya, serta terbatasnya hal yang dapat dilakukan untuk meresponnya, pelayanan kesehatan mental di rumah sakit oleh psikolog dan/atau psikiater menjadi satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kewarasan yang tersisa sampai runtuhnya kapitalisme.
Pada pemahaman yang dangkal, tentunya hal tersebut dapat menimbulkan bahaya-bahaya tertentu seperti self-diagnosis ataupun bahkan menjadi pembenaran atas tindakan-tindakan seseorang yang merugikan orang lain di sekitarnya. Namun, perlu diingat bahwa sebelum seseorang mencari atau mendapatkan pelayanan kesehatan, ia harus menyadari kondisi yang dialaminya sebelum pada akhirnya mencari bantuan medis. Sehingga, identifikasi diri perlu dilakukan sebagai rujukan awal untuk mendapat pelayanan kesehatan mental.
Lebih lanjut lagi, akses terhadap pelayanan kesehatan mental yang amat terbatas, baik dari jumlah tenaga kesehatan yang tersedia ataupun biaya yang perlu dikeluarkan, menjadi penghalang utama dalam seseorang mendapat diagnosis formal terkait kondisinya.
Sayangnya, sebagai penyintas penyakit mental, sejauh ini penulis mengamati bahwa kekhawatiran tersebut seringkali digunakan untuk menginvalidasi pengalaman ataupun kondisi yang dialami orang-orang dengan penyakit mental.
Toh, seperti halnya disabilitas pada umumnya, bukankah toleransi dari masyarakat merupakan hal utama yang dibutuhkan dalam menyikapinya?