25 May 2021

Nun Jauh di Sana

Sebuah roman picisan. Tak perlu dianggap serius.

Sering kutunggu kabar darimu. Tiap kali ponselku berdering dan namamu muncul di antara orang-orang lain yang berserakan di layarku, ada sebuah rasa penasaran akan apa yang akan kau kabari padaku kali ini. Hal yang kau anggap sepele; masakan sahurmu, perjalananmu dari tempatmu beraktivitas menuju tempatmu berteduh, selalu kunantikan. Kisahmu berkeluh kesah terhadap hidup dan kebangsatan yang hadir bersamanya kudengarkan. Aku harap jawabanku dapat membantumu, sungguh, meskipun aku tau perbedaan pengalaman hidup kita dan waktu yang kita sudah habiskan di dunia ini mungkin membuat jawabanku menjadi celoteh semata. Tak apa, paling tidak kau tahu bahwa aku mendengarmu.

Dari segala pengalaman yang sudah kita bagikan selama ini, rasanya dekat sekali kita ini. Sayangnya dunia tidak dapat diperkecil, paling tidak secara realistis. Dunia lain yang dibentuk oleh denyut listrik dari untaian kawat tembaga menjadi penghubung kita selama ini; dari awal bertemu sampai saat ini. Tak apa, kita sudah berbicara soal ini dan selalu realistis menghadapinya. Suatu hal yang sangat kukagumi.

Kamulah yang mengenalkan aku pada dunia ini. Dari awal bertemu dan kenal denganmu, kubaca tulisanmu dan selalu kukagumi bagaimana kau menguntai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, dan paragraf menjadi tulisan. Dari situ aku tahu bahwa kau adalah orang yang sangat beruntung. Lihat di mana kau sekarang. Rasanya banyak orang, dan aku di antaranya, mengharapkan bisa berada di posisimu sekarang. Kamu orang beruntung yang diberkahi oleh pemikiran dan kekuatan. Aku iri akan itu.

Dulu, saat berjalan-jalan di Kota Bandung melihat sebuah pameran buku, kubeli sebuah buku dan kuceritakan padamu pandangan-pandangan yang kumiliki terhadapnya. Kau suruh aku untuk buat sebuah tulisan dengan janji akan dibuat menjadi bagian dari antologi pada blogmu. Sampai sekarang, ia tidak pernah muncul di sana hingga kuputuskan untuk membagikannya sendiri dan membuat blog sendiri yang kugunakan untuk menulis saat ini. Tak apa, aku tak kembali menagih janji tersebut. Aku bersyukur bahwa dirimulah yang sudah membuatku mulai menulis dan merangkai kata seperti dirimu. Mungkin tak seindah yang kau miliki; hidupku lebih sederhana dan kemampuanku pun lebih terbatas. Paling tidak, kalau mengikuti kata salah satu idolamu, aku mulai mengabadikan pecahan-pecahan hidupku.

Pertemuan garis hidup kita rasanya tak terduga, apalagi sampai saat ini. Banyak hal dari diri kita masing-masing yang berubah. Aku sibuk dengan hidupku dan kau pun begitu. Terlihat dari bagaimana kau tak pernah lagi mengunggah tulisan-tulisanmu yang dulu kutunggu setiap minggu, kadang sambil membaca tulisan-tulisan lamamu yang ternyata sudah ada jauh sebelum aku mengenal buku-buku lain selain buku cetak sekolahan. Dari dulu, aku senang melihat bagaimana kau yang dulu berubah menjadi kau yang sekarang melalui tulisan-tulisanmu, yang kau konfirmasi saat kutunjukkan hal tersebut padamu. Lucu melihatmu malu sendiri atasnya.

Namun begitu, waktu berlalu dan aku pun menjadi lupa atas hal tersebut. Aku pun sempat lupa terhadapmu. Tapi, setelah lama tidak bersua, paling tidak kita mulai saling berkabar dan menceritakan kembali hal-hal yang sudah terlewat selama itu. Tak apa, aku memaklumi kekosongan tersebut dan aku harap kau pun. Satu hal yang sama; aku bahagia didengar olehmu, dan aku pun bahagia mendengarmu. Kuharap pengalamanmu serupa dengan apa yang kualami.

Aku harap kau bahagia dengan apa yang sudah kau capai saat ini. Aku pun yakin, pun ia benar ada, takdirmu akan menunjukkanmu pada hal yang lebih baik lagi dari saat ini. Terima kasih atas kehadiranmu selama ini. Aku tak tahu betul bagaimana keadaanmu saat ini, tapi cobalah lebih baik pada dirimu sendiri, sebagaimana aku berusaha dengan hal tersebut pada diriku sendiri. Aku harap bisa kembali membaca untaian katamu, sebagaimana apa yang kulakukan saat ini pada blogku.

Salam hangat, kuharap kau dapat merasakannya.

Epilog

Blog ini sudah lama tidak diperbarui, dengan unggahan terakhir pada tahun 2018; kurang lebih tiga tahun lalu. Dari situ, tentunya banyak yang berubah dari saya; perkuliahan membuat waktu saya tersita sebagian besar padanya. Orang pun datang dan pergi. Tulisan saya berubah menjadi laporan-laporan dan, dalam waktu senggang yang saya miliki, artikel populer di website lain yang gayanya jauh lebih formal dari apa yang biasa diunggah di sini.

Blog ini pun sayangnya jadi terbengkalai.

Selain menyurahkan hati soal di atas, seorang kawan yang tidak akan saya sebutkan secara spesifik karena belum mendapat consent darinya, rasanya saya juga ingin berkabar lebih lanjut dan memperbarui blog ini, sehingga jadilah tulisan ini yang ditulis dan diunggah subuh. Seperti biasa, karena memang saya sepertinya hidup layaknya kalong.

Sebagai keterangan tambahan, karena tulisan di blog ini kebanyakan merupakan curahan hati yang saya buat saat galau, saya akhirnya mendapat jawaban atas hal tersebut. Saya didiagnosis mengidap Bipolar tipe 2 pada tahun 2020, setelah perjalanan panjang menemui berbagai ahli psikologi (konselor, psikolog, sampai psikiater) dari akhir tahun 2018. Paling tidak, saat ini, saya ada dalam kondisi baik-baik saja. Semoga bisa berlanjut seperti itu.

Saya harap stabilitas emosi saya saat ini berujung pada stabilitas saya dalam hal hubungan interpersonal, baik pada orang yang saya ceritakan maupun pada orang-orang lain yang ada dalam hidup saya. Sungguh, saya berharap akan hal tersebut.

Akhir kata, salam saya juga diberikan pada para pembaca dan kawan-kawan lain yang kebetulan berkunjung pada blog ini setelah sekian lama. Entah berapa orang yang masih membacanya, saya mengurungkan diri melihat statistik blog ini dan memang tidak terlalu peduli terhadapnya. Lagipula, blog ini hanya corat-coret belaka, bukan?

Sampai jumpa di unggahan lain, entah kapan itu.

Share: