10 April 2018

Penuaan Dini

Sebuah foto yang diunggah kolega saya selama menjabat sebagai Wakil Presiden FEDU menggugah perasaan saya. Perasaan tersebut berujung pada saya yang akhirnya mengunggah ulang foto tersebut. Tulisan yang saya sematkan dengan foto tersebut sebenarnya sudah cukup menggambarkan perasaan saya selama SMA, tapi, saya masih merasa ada beberapa hal yang mengganjal yang saya perlu ceritakan.



Foto itu mengingatkan bahwa saya sudah tua, paling tidak untuk ukuran anak SMA. Perasaan yang agak aneh, terutama karena saya tidak pernah mencintai masa SMA saya, terutama jika dibandingkan dengan teman-teman saya yang lain. Sepertinya, ini yang teman karib saya Grace Adeline rasakan ketika beranjak meninggalkan SMA. Saya sejujurnya tidak dapat berkata banyak mengenai alasan kenapa saya tidak menjalani masa SMA saya, meskipun masa SMA sering diagung-agungkan dan dianggap sebagai masa yang paling indah seumur hidup. Entahlah, jangan tanya saya mengenai kebenaran premis itu. Mungkin karena ini merupakan pertama kalinya saya hidup independen sebagai anak rantau, mungkin juga karena perbedaan kultur yang diperparah dengan idealisme saya. Satu hal yang pasti bagi saya; saya meninggalkan orangtua saya jauh-jauh di Kalimantan untuk menuntut ilmu.

Paling tidak, saya berhasil menggaet beberapa orang untuk dipanggil teman selama tiga tahun saya di sini, meskipun saya sendiri tidak tahu kenapa saya bisa berteman dengan mereka. Kebanyakan mereka menyukai budaya Jepang dan permainan digital, sementara saya ngawur sendiri menjadikan debat parlementer–atau yang kadang saya sebut "cari ribut sama orang"–sebagai hobi. Hobi macam apa itu?

Hobi aneh itu dimulai dari awal SMA, pada saat MPLS–Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, red–berakhir dan setiap kelompok ekstrakurikuler mempromosikan dirinya untuk mencari anggota baru. Saya yang tidak pernah tertarik pada banyak hal lainnya yang biasanya digemari remaja-remaja macam saya berakhir mendaftarkan diri di dua ekstrakurikuler; SIGMA dan FEDU. SIGMA merupakan kumpulan penggiat matematika, sebagai katalis pembelajaran sekaligus tempat persiapan olimpiade, dan FEDU merupakan klub debat bahasa Inggris sekolah. Keduanya tidak berjalan semenyenangkan yang saya kira; SIGMA karena saya berakhir menjadi pajangan nama anggota tidak aktif, dan FEDU karena masalah pribadi. Namanya juga kelompok orang yang senang cari ribut, apa yang bisa diharap?

Paling tidak, ada kenangan yang tertinggal dari tiga tahun yang saya habiskan di sini, di belakang papan tulis dengan kumpulan kertas dalam map, pulpen beraneka warna, dan kojing yang terbuka; di antara sekolah dan petualangan yang saya dapat jalani. Sesuatu untuk diakhiri dengan senyum tersimpul.
Share: